Jenang Suran: Tradisi Kuliner Penuh Makna di Mangkunegaran
Jenang suran merupakan hidangan berbentuk bubur dengan kondimen yang variatif dan hanya hadir di bulan Sura dalam penanggalan Jawa. Penyajian jenang suran tidak selalu sama pada tiap daerah. Meskipun memiliki cara penyajian yang berbeda, pemaknaannya memiliki maksud yang sama yaitu mengarah kepada rezeki, ketahanan, dan persatuan.
Kisah-kisah yang sering menjadi latar belakang tradisi ini juga memiliki kesamaan, misalnya kisah Nabi Nuh dengan kapalnya atau Fatimah, putri Nabi Muhammad, ketika terjadi perang. Keduanya sama-sama menceritakan tentang kesulitan dan keterbatasan, khususnya dalam hal makanan. Dari bahan yang tersisa, dibuatlah bubur atau jenang untuk dibagikan kepada masyarakat. Di Jawa sendiri, tradisi jenang suran diyakini sudah ada sejak masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Secara umum, masyarakat Jawa memaknai tradisi jenang suran sebagai bentuk rasa syukur atas kemudahan dalam menjalani kehidupan selama satu tahun terakhir, dapat bertahan melalui berbagai kesulitan, dan harapan supaya kemudahan tersebut dapat terjadi di tahun-tahun berikutnya. Di Mangkunegaran, tradisi pembagian jenang suran pada malam 1 Sura sudah dilakukan sejak masa kepemimpinan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VI. Hal ini sejalan dengan citra K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VI yang dikenal sebagai pemimpin yang toleran dengan perbedaan budaya dan agama di lingkungan Mangkunegaran.
Seiring berjalannya waktu, jenang suran di Mangkunegaran hanya dibagikan setahun sekali pada tanggal 10 Sura. Biasanya, makanan ini disuguhkan langsung untuk keluarga dan kerabat dekat Mangkunegaran beserta dengan para abdi dalem. Jenang suran Mangkunegaran terdiri dari sayur kare, tauge, wortel, buncis, perkedel kentang, kering tempe, pindang telur ayam, sayur krecek (kulit sapi), kerupuk udang, ikan teri goreng, dan bubur gurih. Beragam isian ini memiliki maknanya masing-masing, misalnya tauge yang bermakna tumbuh dan selamat, serta perkedel yang bermakna menghargai dan menghormati sesama.
Jenang suran tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menumbuhkan refleksi diri dan harapan untuk masa depan. Selain itu, jenang suran dapat menjadi pengingat akan pentingnya rasa syukur, penghormatan kepada leluhur, dan semangat kebersamaan dalam masyarakat.