13 Agustus 2024

Peradilan di Mangkunegaran

Peradilan di Mangkunegaran
Pendhapa Ageng Pura Mangkunegaran sekitar Tahun 1900 (Sumber: KITLV)

Sistem peradilan di Mangkunegaran menggunakan produk hukum yang serupa dengan yang berlaku di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sistem peradilan dan hukum yang baku sangat diperlukan guna mengatur bagaimana kawula Mangkunegaran harus bersikap dan bertindak. Sistem peradilan di Mangkunegaran baru dibentuk pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkoenagoro II.


Pada 4 Oktober 1818, Mangkunegaran mulai membuat kodifikasi hukum yang menjadi dasar kepastian hukum bagi semua warga masyarakatnya. Sumber kodifikasi hukum di Mangkunegaran berasal dari empat hukum Jawa mulai dari Angger Ageng (Buku Hukum Besar), Nawala Pradata, Angger Sedoso dan Angger Arubiru. Dalam perkembangannya, sistem peradilan di Mangkunegaran dicatat dalam Rijksblaad Mangkunegaran yang ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa, serta Staatsblad yang ditulis dalam huruf latin dan berbahasa Belanda.


Sistem peradilan di Mangkunegaran mengalami perubahan ketika masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro III dengan pemberlakuan tiga bentuk pengadilan. Tiga pengadilan tersebut pertama, Pengadilan Kasatriyan yang berkewajiban untuk menyelesaikan permasalahan para kerabat istana (sentana dalem) Mangkunegaran hingga keturunannya yang keempat. Kedua, Pengadilan Pradata menangani permasalahan abdi dalem istana hingga masyarakat umum. Ketiga, Pengadilan Surambi menangani permasalahan pernikahan, perceraian, warisan, dan wasiat semua warga di wilayah Mangkunegaran. Bentuk-bentuk pengadilan tersebut merupakan bentuk pengadilan tradisional dan digunakan juga oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.


Aturan hukum Mangkunegaran mulai mengalami perubahan pada masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV. Di samping pengadilan tradisional, didirikan pengadilan sampai pada tingkat kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri yang terdiri dari Pengadilan Pradata Kawedanan dan Pengadilan Pulisi Rol. Pengadilan Pradata Kawedanan menyelesaikan masalah kejahatan di kalangan rakyat Mangkunegaran kecuali pembunuhan, kecu (perampokan/pencurian), begal, pembakaran rumah, harta palsu, dan pembangkangan perintah. Pengadilan Pulisi Rol menyelesaikan perkara masyarakat yang tergolong kasus dengan ancaman hukuman berat.


Pada tahun 1872 berdasarkan Staatsblad tahun 1872 No. 85, hukum Jawa yaitu Angger Ageng, Nawala Pradata, dan aturan-aturan tradisional lainnya tidak dipakai kembali. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai memegang dan mengendalikan peradilan di Wilayah Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1903. Pemerintah Hindia Belanda mulai mencampuri urusan peradilan termasuk permasalahan hukum yang menyangkut warga Mangkunegaran. Meski demikian, aturan tersebut tidak berlaku untuk keluarga raja (sentana dalem) hingga keturunan keempat. Pada keluarga raja masih berlaku Pengadilan Kasatriyan. Pada tahun yang sama, Pengadilan Pradata Mangkunegaran dan Pradata Kawedanan Wonogiri resmi dihapus. Sebagai gantinya, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Raad (pengadilan) kabupaten seusai diberlakukannya Staatsblad 1903.


Pada tahun 1913 di bawah pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VI, berdasarkan peraturan Mangkunegaran tanggal 13 Januari 1913 terjadi perubahan kewenangan pada Pengadilan Kasatriyan menjadi Pengadilan Pradata Mangkunegaran. Meski telah mengalami banyak perubahan dengan masuknya campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam sistem peradilan di Mangkunegaran, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VI masih tetap mempertahankan Pengadilan Surambi. Pengadilan Kasatriyan akhirnya benar-benar dihapus dan tidak digunakan lagi sebagai pengadilan resmi di Mangkunegaran pada masa K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII.


Pada masa Pemerintah Pendudukan Jepang, peradilan bentukan Pemerintah Hindia Belanda yang ada di Surakarta diubah dan hukum yang berlaku adalah hukum kriminal buatan Jepang bernama Gunsei Keizerei. Meski terdapat perubahan, namun pada dasarnya susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Pemerintah Hindia Belanda tetap dipertahankan meskipun nama pengadilannya diubah. Susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Jepang antara lain Gun Hooin (pengadilan kawedanan), Ken Hooin (pengadilan kabupaten), Keizai Hooin (pengadilan kepolisian), dan Tihoo Hooin (pengadilan negeri).


Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 14 Juli 1947, menteri kehakiman membuat Maklumat Menteri tanggal 14 Juli 1947 No. 0.2 tentang penghapusan peradilan-raja (zeflbestuurscrechtspraak) di Jawa dan Sumatera. Sebelum mengundangkan, menteri kehakiman mengirimkan maklumat tersebut kepada K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VIII dan penguasa swapraja lainnya. Pada dasarnya, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VIII dan penguasa swapraja lainnya tidak menolak adanya maklumat dari menteri kehakiman tersebut. Maka dikeluarkanlah Undang-undang No. 23 tahun 1947 yang berisi tentang penghapusan pengadilan raja yang juga mengatur tentang peralihan perkara yang ditangani oleh pengadilan raja (pradoto). Dengan adanya perundangan tersebut maka sistem peradilan yang ada di swapraja resmi dihapus dan kekuasaan mengadili dari pengadilan yang telah dihapuskan akan pindah kepada badan-badan pengadilan dari Negara Republik Indonesia yang berkuasa menurut peraturan tentang susunan pengadilan yang berlaku.

Lainnya yang serupa