Seni Pertunjukan di Mangkunegaran (Bagian II)
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkoenagoro IV (1853-1881) tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang cakap dan seorang ekonom saja, melainkan juga sebagai seorang pujangga. Sejak berusia 10 tahun, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV telah menggeluti kasusastraan. Keahliannya pada bidang seni menjadikan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV sebagai seorang seniman dan pujangga besar. Pada masa pemerintahannya, bidang kesenian seperti seni karawitan, seni tari, seni pewayangan dan seni sastra mengalami kemajuan yang pesat dan dapat dikatakan pada masa ini kesenian di Mangkunegaran mencapai masa keemasan.
Dalam berbusana, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV masih melestarikan adat dan tradisi Mangkunegaran. Setiap hari K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV menggunakan busana Jawi. Ciri khusus atau identitas Mangkunegaran untuk laki-laki selalu mengenakan ikat kepala, bahkan saat tertidurpun K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV tidak melepaskannya. Saat berada di Pringgitan, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV mengenakan ikat kepala, kuluk (kopiah kebesaran) dan keris.
K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV terkenal sebagai sastrawan yang produktif. Karya-karya yang lahir pada masanya sebagian besar berbentuk tembang. Tembang karya K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV diciptakan sebagai catatan peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa pemerintahannya. Umumnya berisi tentang ajaran hidup yang meliputi tiga ajaran utama yaitu hubungan antara pribadi dengan Tuhan, hubungan antara pribadi dengan masyarakat serta hubungan antara pribadi dengan alam semesta atau lingkungan.
Karya K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV yang terkenal adalah Wulang Reh berbentuk tembang Kinanti. Wulang Reh memiliki arti agar manusia memiliki sifat kesatria dan sederhana. Karya selanjutnya adalah Serat Tripama yang terdiri dari tujuh bait pupuh Dhandanggula. Tripama memiliki arti tiga ketauladanan. Serat Tripama ditujukan kepada para prajurit agar para prajurit dapat meneladani jiwa kesatria tokoh-tokoh pewayangan, yaitu: Patih Suwanda, Basukarna dan Kumbakarna. Dengan meneladani tokoh tersebut, para prajurit dapat mencapai kesempurnaan hidup dengan jalan menunaikan tugas dan kewajibannya. Karya berikutnya adalah Serat Wedhatama yang terdiri dari dua kata wedha (ajaran) dan tama (keutamaan atau kebaikan), maka Wedhatama berarti ajaran tentang keutamaan atau kebaikan.
Dalam seni pewayangan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV menciptakan wayang Kyai Sebet yang berpola pada wayang Kyai Kadung. Penamaan Kyai Sebet diambil dari kata sabet yang artinya enak untuk dimainkan, sehingga kebanyakan para dalang menyukainya. Pada seni tari, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV menciptakan tari Wireng yang diambil dari dua atau empat orang penari yang tiap pasangannya menggunakan pakaian kembar. Lakon Wireng antara lain, Palguna-Palgunadi, Karna Tanding dan sebagainya. Ciri khusus tari Wireng ditandai dengan penggunaan dadap, yaitu tongkat penangkis berujung wayang setengah badan yang bersayap.
K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV juga mengembangkan Langendriyan, yaitu drama tari yang menggunakan dialog vokal. Langendriyan berasal dari kata langen berarti hiburan dan driya berarti hati, sehingga Langendriyan dapat diartikan sebagai tarian hati. Berdasarkan serat babad Ila-Ila, munculnya Langendriyan bermula dari keinginan seorang Belanda bernama Godlieb Kilian yang meminta kepada Raden Mas Hario Tondrokusuma untuk menyusun tari dengan cerita Damarwulan pada bagian Ratu Ayu dilamar Adipati Minakjinggo.
Gending-gending (lagu karawitan) Mangkunegaran memiliki karya khusus yang berbeda. Gending-gending Mangkunegaran menonjolkan suara pria dengan irama metris seiring dengan melodi gending yang sekarang disebut gerong. Gending-gending ciptaan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV yang cukup terkenal adalah Langengita, laras slendro patet 9, Rajaswala, laras slendro patet 9, Walagita, laras pelog patet 6, Puspanjala, laras pelog patet 6, Sitamardawa dan lain sebagainya.
Seni pertunjukan di Mangkunegaran masa K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV mengalami perkembangan, terutama pada bidang sastra yang menjadi sumber inspirasi seni pertunjukan. Meski demikian, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV tidak meninggalkan ciri khas seni Mangkunegaran yang telah ada, seperti gaya busana.