15 Agustus 2024

Peran K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII dalam Mengembangkan Budaya Jawa

Peran K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII dalam Mengembangkan Budaya Jawa
K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur Tahun 1928 (Sumber: KITLV)

K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mengembangkan kebudayaan Jawa melalui banyak cara. Misalnya, dengan memikirkan penggunaan Bahasa Jawa dalam konteks formal dan informal yang saat itu pengalami penurunan akibat masifnya penggunaan Bahasa Belanda di kalangan bumiputera. K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII ingin masyarakat Jawa yang menguasai Bahasa Belanda tidak melupakan Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.


K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII juga menjalin relasi dengan beberapa tokoh yang memiliki fokus di bidang yang sama, yakni kebudayaan untuk melakukan studi dan pengembangan Budaya Jawa khususnya di Surakarta. Tokoh-tokoh yang dimaksud antara lain Pangeran Hadiwijaya, Pangedan Kusumayuda, R.M. Djojonegara, Dr. Radjiman, R.M.A. Wurjaningrat, Dr. A.M. Joekes, Ir. Thomas Karsten, Ir. M.G. van Hill, dan J.E. Stokvis. Dalam kelompok studi tersebut, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mengusulkan untuk menggelar kongres kebudayaan. Usulan tersebut diterima dan Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling dilaksanakan pada tanggal 5-7 Juli 1918 di Bangsal Kepatihan Keraton Surakarta. Pada acara tersebut, Mangkunegaran menampilkan wayang wong dan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII merekomendasikan pendirian sebuah lembaga penelitian kebudyaan Jawa.


Rekomendasi yang disampaikan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mengenai pendirian lembaga penelitian kebudayaan Jawa telah berhasil melahirkan Java Instituut pada tanggal 4 Agustus 1919. Lembaga ini disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui surat keputusan no. 75 tanggal 17 Desember 1919. Java Instituut bertugas mengembangkan kebudyaan Jawa dan sekitarnya termasuk Madura, Sunda, dan Bali. Upaya K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII dalam mengembangkan kebudayaan Jawa bersama Java Instituut salah satunnya adalah dengan menggelar Kongres Java Instituut tahun 1926 dan 1929, serta Sayembara tahun 1928 dan 1937.


Tidak hanya menjadi pendorong bagi perkembangan kebudayaan Jawa, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII juga turut andil menjadi budayawan melalui karya-karyanya, seperti karya tulis dalam Majalah De Taak yang membahas mengenai keprihatinan beliau terhadap nasib pendidikan dan kebudayaan Jawa saat itu, serta karya tulis dalam Buku Serat Pedhalangan Ringgit Purwa. K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII juga menciptakan karya tari dalam Tarian Bedhaya Bedhah Madiun, karya arsitektur dalam ornamen Kumudawati, dan lain sebagainya.


Kebudayaan Jawa yang sudah ada dilestarikan, dikembangkan, dan diserbarluaskan oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII. Upaya penyebarluasan kebudayaan Jawa dilakukan melalui beberapa cara, salah satu yang paling menarik adalah dengan menyiarkannya melalui radio. Mangkunegaran adalah pemilik stasiun radio pertama yang dikelola oleh bumiputera, yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV). Hal tersebut menjadi sangat penting mengingat pada saat itu sarana informasi dan komunikasi masih terbatas dan hampir semuanya dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mangkunegaran memiliki kendali atas informasi yang disebarluaskan melalui stasiun radionya sendiri yang menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia.


Begitu banyak upaya yang dilakukan oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII untuk memajukan kebudayaan Jawa di awal abad ke-20 yang rawan tergerus modernisasi dan standarisasi kebudayaan Eropa di Jawa. K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII berusaha menyeimbangkan modernitas dengan yang tradisional. Beliau ingin masyarakat Jawa khususnya di lingkungan Mangkunegaran tidak hanya berfokus pada pembaruan, tetapi juga merawat kebudayaan Jawa hingga ke akar.


Lainnya yang serupa