9 Agustus 2024

Seni Pertunjukan di Mangkunegaran (Bagian III)

Seni Pertunjukan di Mangkunegaran (Bagian III)
Pertunjukan Wayang Wong Irawan Bagna di Pura Mangkunegaran sekitar Tahun 1890 (Sumber: KITLV)

Pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkoenagoro V (1881-1896) terjadi perubahan dalam seni pertunjukan di Mangkunegaran. Sebelumnya, seni pertunjukan dalam Pura Mangkunegaran hanya dapat dinikmati oleh kalangan dalam istana dan kerabat saja, namun pada masa ini seni pertunjukan Mangkunegaran dapat disaksikan oleh rakyat. Dalam pandangannya, seni pertunjukan tidak hanya ditujukan bagi kalangan bangsawan saja, tetapi juga rakyat.


Pandangan yang dimiliki oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V terhadap seni pertunjukan tersebut mempengaruhi perubahan fungsi seni pertunjukan di Pura Mangkunegaran. Pada mulanya, seni pertunjukan difungsikan sebagai pelengkap upacara, namun kemudian bergeser ke arah hiburan dan tontonan. Pergeseran tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pementasan yang diadakan, sehingga pementasan yang ada kini lebih ditekankan pada daya tarik penonton.


Pada masa ini, di Pura Mangkunegaran berkembang seni tari meliputi tari bedaya, tari serimpi, tari tayub dan tari wireng, serta pada kesenian wayang meliputi wayang purwa, wayang klitik, wayang gedog, wayang golek dan wayang orang. Perubahan seni pertunjukan khususnya wayang orang di mana perubahan tersebut terjadi setelah K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V mengunjungi Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu.


Relief yang menghiasi dinding Candi Sukuh berupa figur dari pahlawan Mahabharata menginspirasi kostum dan hiasan dengan gaya yang sama dengan wayang kulit. Selepas kunjungan tersebut, segera para pemain wayang orang menerima busana baru mirip dengan wayang kulit. Setiap tokoh dalam wayang kulit dapat dikenali oleh para penonton dari pakaian, penutup kepala, bentuk hiasan atau pola pakaian yang khas. Cara tersebut juga diterapkan pada pemain wayang orang, sehingga meski ditonton dari jarak yang cukup jauh tokoh yang diperankan tetap bisa dikenali. Busana pada seni pertunjukan wayang orang menjadi lebih mewah, sehingga pertunjukan yang ditampilkan menjadi lebih indah. Bersamaan dengan perubahan busana, aspek koreografi dari wayang orang juga turut dikembangkan.


Pada Langendriyan, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V menonjolkan sisi pemainnya yang keseluruhannya perempuan. Pagelaran yang awalnya dilakukan dengan cara berjongkok mulai diubah menjadi berdiri seperti wayang orang. Perubahan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan dan menyempurnakan variasi gerakan tari dengan prinsip nilai estetis yang lebih tinggi, dibandingkan hanya mengutamakan formalitas dan sebagai penghormatan terhadap penguasa. Selain itu, perubahan juga terjadi pada busana yang dikenakan oleh penari. Busana yang dikenakan mengalami pembaruan dengan mengambil inspirasi dari busana yang digunakan pada wayang orang.


Pada masa pemerintahannya K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V banyak merubah seni pertunjukan yang ada di Mangkunegaran. Seni pertunjukan yang mulanya eksklusif dan hanya ditujukan untuk kalangan istana, kemudian dapat dinikmati oleh rakyat umum. Perkembangan pada seni dan budaya pada masa ini mununjukkan besarnya kecintaan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V terhadap seni dan budaya di Mangkunegaran.


Referensi

Khirana Marwadika. 2023. “Melintasi Gerbang Kreativitas: Langendriyan pada Era Mangkoenagoro V Hingga Mangkoenagoro VII”. Journal Histma Vol. 8, No. 2. Yogyakarta: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada.


Suwaji Bastomi. 1996. Karya Budaya Mangkunagara I-VIII. Semarang: IKIP Semarang Press.

Lainnya yang serupa