Solosche Radio Vereeniging: Cikal Bakal Radio Republik Indonesia
Perjalanan penyiaran di Indonesia, khususnya stasiun radio milik negara yang bernama Radio Republik Indonesia (RRI), maka tak dapat dilepaskan dari keberadaan Solosche Radio Vereeniging (SRV). SRV adalah radio pertama yang dikelola oleh bumiputera di Hindia-Belanda. Radio berbasis komunitas ini berlokasi di Surakarta dan fokus menyiarkan seni-budaya Jawa.
Pendirian Solosche Radio Vereeniging bermula dari sebuah perkumpulan kesenian Jawa, Javaansche Kuntskring Mardiraras (JKM) yang dibina oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII. Perkumpulan ini aktif berkegiatan di bidang seni karawitan, yakni memainkan alat musik gamelan serta melantunkan gendhing-gendhing Jawa, atau yang kerap disebut dengan klenengan. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan di lingkungan Pura Mangkunegaran.
K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mencintai seni dan budaya Nusantara, khususnya Jawa dapat dilihat melalui dukungannya terhadap seluruh kegiatan yang bergerak di bidang tersebut. Beliau memberikan seperangkat alat teknik untuk menyiarkan klenengan yang dimainkan oleh Javaansche Kuntskring Mardiraras dan wayang wong dari Kagungan Dalem Balekambang melalui call sign PK2MN (Pemancar Kring Ketimuran Mangkunegaran). Peralatan tersebut dibeli dari stasiun radio swasta Belanda di Yogyakarta bernama Djocjasche Radio Vereeniging.
Dalam perjalanannya, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mempercayakan R.M. Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo untuk mengembangkan penyiaran seni dan budaya Jawa melalui radio. Melalui rapat yang dilaksanakan pada 1 April 1933 di gedung Societeit Mangkunegaran (sekarang Monumen Pers Nasional), R.M. Sarsito mengutarakan gagasannya untuk mendirikan stasiun radio baru yang lebih baik kualitasnya. Usulan tersebut disetujui hingga disepakati berdirinya Perhimpunan Radio Omroep yang diberi nama Solosce Radio Vereeniging, yang diketuai oleh R.M. Sarsito sendiri.
Cita-cita K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII dan seluruh pegiat seni dan budaya untuk menyebarluaskan seni dan budaya Jawa melalui penyiaran radio dapat terwujud melalui pendirian SRV. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari jangkauan siaran perdana SRV berupa klenengan oleh Javaansche Kuntskring Mardiraras yang terdengar hingga ke Belanda. Sejak saat itu, SRV mengalami perkembangan yang pesat dan anggotanya terus bertambah hingga mencapai 4.000 orang. Isi siarannya pun tidak lagi terbatas pada sajian seni karawitan saja, tetapi diperluas dengan sajian musik lain seperti keroncong.
Setelah berhasil menyiarkan radio di wilayah Surakarta, SRV memperluas jangkauan siaran dengan mendirikan cabang di kota lain yang kelak menjadi radio siaran mandiri. Kota-kota yang turut menjadi wilayah cabang SRV antara lain Batavia, Bandung, Surabaya, Madiun, Semarang, Purwokerto, dan Bogor. Pada tanggal 15 Januari 1935 SRV mengadakan kongres di Surakarta. Salah satu keputusan penting dari kongres ini adalah SRV harus memiliki gedung studio sendiri yang memadai untuk keperluan penyelenggaraan siaran. Anggaran pembangunan gedung studio yang dimiliki SR tidak mencukupi, sehingga K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII memberikan dukungan berupa hibah tanah seluas 5.000 meter persegi senilai f 15.000 yang terletak di kampung Kestalan, sisi selatan Stasiun Balapan. Tanah tersebut kemudian menjadi tempat berdirinya gedung resmi SRV, yang sekarang menjadi Kantor Radio Republik Indonesia.
Pembangunan gedung SRV dimulai pada tanggal 15 September 1935. Peletakan batu pertama dilakukan oleh putri K.G.P.A.A. Mangkoenegoro VII, B.R.Aj. Siti Noeroel Kamaril Koesoemowardhani atau yang lebih akrab disapa Gusti Nurul. Teknik pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh arsitek Ir. FCL Van Olden. Gedung SRV diresmikan pada tanggal 23 September 1936 dan diresmikan oleh Gusti Nurul.
Solosche Radio Vereeniging aktif dan terus berkembang, puncaknya adalah ketika berhasil menyiarkan suara gamelan untuk mengiringi Gusti Nurul ketika menari di Belanda. Saat itu, Gusti Nurul didampingi K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII beserta Gusti Kanjeng Ratu Timur dan rombongan menghadiri pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard pada tahun 1937. Gusti Nurul menampilkan tarian tradisional sebagai hadiah pernikahan di hadapan Ratu Belanda dan seluruh tamu kerajaan.
Kejayaan SRV terus berlanjut hingga Jepang tiba di Surakarta pada tahun 1942. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada pengurus SRV untuk membumihanguskan seluruh aset pada tanggal 2 Maret 1942 sebagai antisipasi terhadap pengambilalihan alat informasi dan komunikasi oleh Jepang. Hal tersebut menjadi genting karena radio dapat dimanfaatkan sebagai alat penyiaran propaganda yang efektif. Tidak semua peralatan SRV dihancurkan, beberapa di antaranya berhasil disembunyikan, namun penyiaran berhenti sementara.
Tentara Jepang mendarat di Surakarta tepatnya pada tanggal 5 Maret 1942. Tiga hari kemudian, komandan pasukan Jepang H. Funabiki mendatangi kantor SRV dan bertemu dengan beberapa pengurus, yakni R. Maladi, Utojo, dan Sugoto. Ia memerintahkan supaya SRV bisa kembali mengudara. Sejak saat itu, SRV berubah nama menjadi Solo Hoso Kyoku yang merupakan cabang dari radio Hoso Kanri Kyoku yang berpusat di Batavia.
Hoso Kanri Kyoku beserta seluruh cabangnya kembali terhenti setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan melalui pembacaan naskah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah itu, dilakukan rapat-rapat untuk membahas nasib penyiaran radio di Indonesia yang antaranya menghasilkan penetapan hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI) pada tanggal 11 September 1945. Seluruh bekas cabang SRV yang sempat diambil alih Jepang kemudian menjadi bagian dari radio nasional ini. RRI Surakarta menempati gedung bekas Solosche Radio Vereeniging.