11 Agustus 2024

Tradisi Sungkeman dalam Masyarakat Jawa: Silaturahmi ala K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I

Tradisi Sungkeman dalam Masyarakat Jawa: Silaturahmi ala K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I
Sungkeman di Mangkunegaran Era K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IX

Sungkeman merupakan sebuah tradisi yang mencerminkan akulturasi antara budaya Jawa dan Islam. Kata “sungkem” berasal dari bahasa Jawa yang artinya sujud atau tanda bakti. Tanda bakti inilah yang diwariskan dari budaya Jawa dan berpadu dengan konsep pengampunan dosa dalam Islam.


Awal mula adanya tradisi sungkeman dapat dilihat pada era K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I (1757 – 1795). Setelah salat Idulfitri, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I mengadakan pertemuan secara serentak dengan para punggawa dan prajuritnya di balai istana. Pada pertemuan itu, para punggawa dan prajurit mencium tangan serta lutut K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I yang sedang duduk di singgasananya. Proses inilah yang kemudian dikenal sebagai tradisi sungkeman.


Tradisi sungkeman diprakarsai oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I sebagai upaya untuk bertemu sekaligus dengan seluruh punggawa dan prajuritnya, sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa secara luas dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan lebaran di Jawa. Selain itu, sungkeman juga digunakan sebagai simbolisasi momen suci untuk saling memaafkan, membersihkan hati, dan memperkuat tali persaudaraan.


Sungkeman menjadi oasis di tengah bisingnya kehidupan yang menawarkan momen hening untuk merenungkan makna kebersamaan dan saling menghargai. Meskipun zaman terus berkembang, tradisi sungkeman tetap dilakukan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini patut dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya Jawa.


Lainnya yang serupa