12 Agustus 2024

Wayang Orang Mangkunegaran

Wayang Orang Mangkunegaran
Pertunjukan Wayang Wong Irawan Bagna di Pura Mangkunegaran sekitar Tahun 1890

Seni pertunjukan Mangkunegaran merupakan titik pusat kehidupan budaya Jawa yang dilakukan dengan kehalusan dan kesempurnaan sehingga ketenarannya telah menyebar ke seluruh dunia. Wayang orang atau biasa disebut sebagai wayang wong merupakan salah satu seni pertunjukan Jawa. Wayang orang dalam bahasa Jawa disebut sebagai ringgit tiyang, merupakan seni pertunjukan yang diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I. Seni pertunjukan wayang orang mengangkat kisah dari hikayat-hikayat lama, terutama dari repertoar wayang kulit purwa, namun terkadang juga dari lakon-lakon gedog.


Wayang Orang Mangkunegaran dipentaskan pertama kali pada tahun 1760. Ketika itu wayang orang hanya dinikmati oleh kerabat Mangkunegaran dan para punggawa. Pemainnya adalah para abdi dalem Mangkunegaran. Seluruh penarinya adalah para putra kerabat dan abdi dalem. Pakaian yang dikenakan tidak jauh berbeda dengan pakaian adat sehari-hari Mangkunegaran. Lakon pertama yang diciptakan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I adalah Wijanarka. Sejak kemunculannya, wayang orang penuh dengan muatan tentang ajaran hidup dan keagamaan.


Kejayaan Wayang Orang Mangkunegaran terjadi masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V. Wayang Orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dalam hal busana, pemain, dan lakon-lakon yang dimainkan. Perkembangan busana wayang orang mengikuti perwujudan busana wayang kulit purwa. Penciptaan busana baru itu diilhami oleh Patung Bima dan relief-relief pada Candi Sukuh, antara lain: makutha, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal badhong. Perubahan busana ini memberi kemudahan bagi penonton untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya.


Perubahan Wayang Orang Mangkunegaran tidak terbatas pada perubahan busana dan penari, melainkan juga penciptaan naskah lakon. Selain menampilkan lakon-lakon pokok dari epos Ramayana dan Mahabarata, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V melakukan pembaruan dengan menampilkan lakon-lakon carangan. Carangan diartikan sebagai lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) tetapi para pemeran dan tempat dalam cerita carangan tetap menggunakan tokoh-tokoh wayang purwa berdasarkan Mahabarata atau Ramayana. Tidak kurang 15 lakon carangan wayang orang diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkoenagoro V.


Seni pertunjukan wayang orang menyajikan sebuah trinitas yang hampir ideal antara tari, teater, dan musik yang menjadi satu dalam seni pertunjukan. Tak satupun dari ketiga elemen ini yang mendominasi dengan mengorbankan yang lain sehingga dapat dikatakan kesempurnaan dalam harmoni yang indah tercapai dalam wayang orang.


Seni pertunjukan wayang orang ditampilkan pada malam hari, sama seperti pertunjukan wayang kulit. Wayang orang yang berada di Mangkunegaran terdiri dari dua bentuk tambahan dari wayang orang yang menjadi ciri khasnya yaitu Langendriyan dan Prasana Asmara. Berbeda dengan wayang orang di mana para aktor berbicara dalam bentuk prosa, pada seni pertunjukan ini dialog akan dinyanyikan dalam bentuk macapat. Seni pertunjukan ini kemudian menjadi drama musikal dan perbedaan berikutnya dengan wayang orang adalah hanya perempuan yang tampil dalam pertunjukan ini (begitu juga peran pria) dan tidak memiliki dalang.


Penampilan seni pertunjukan wayang orang menggambarkan suasana hati dan perasaan dalam postur tubuh dan gerakan tari. Cerita dalam wayang orang diekspresikan dalam figur-figur gerakan tarian. Dalam seni pertunjukan wayang orang yang baik, semua bakat estetika orang Jawa yang sangat kaya akan bakat di bidang ini mekar dan terpancar sepenuhnya. Setiap postur, sikap yang ada di dalam seni pertunjukan wayang orang adalah pemikiran yang indah selayaknya sebuah puisi yang sangat halus.


Referensi:

Het Comite Voor Het Triwindoe-Gedenboek Secretariaat. 1939. Het Triwindoe-Gedenboek Mangkoe Nagoro VII. Surakarta: Het Comite Voor Het Triwindoe-Gedenboek Secretariaat.


J. Kunts. 1940. Een En Ander Over De Javaansche Wajang. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging, Koloniaal Instituut.


TH. B. Van Lelyveld. 1922. De Javaansche Danskunst. Den Haag: Hadi Poestaka.

Lainnya yang serupa